KALANGAN DPRD Kutim meminta masalah defisit APBD yang terjadi dalam 2 tahun terakhir, menjadi pembelajaran bagi Pemkab. Karena dampak defisit APBD, terasa luas dimana terjadi penurunan daya beli masyarakat terutama dari pegawai serta karyawan perusahaan yang mengelola proyek-proyek pemkab
Wakil Ketua DPRD Kutim Yulianus Palangiran menilai defisit keuangan terjadi karena pemerintah pusat melakukan

pemotongan anggaran yang bersumber dari dana bagi hasil (DBH). “Mengantisipasi tidak lagi terjadi defisit, maka pemerintah dan DPRD Kutim dalam APBD 2018, tidak lagi menganggarkan maksimal pendapatan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang dana bagi hasil, namun hanya dianggarkan 90 persen dari alokasi yang diinformasikan,” sarannya.
Menurut politikus dari Partai Demokrat ini, kehati-hatian pada anggaran tahun depan perlu karenanya dewan hanya membahas pagu dana sekitar Rp2,5 triliun dari PMK sekitar Rp2,6 triliun, sehingga ada cadangan sekitar Rp100 miliar.
Yulianus mengakui, ada yang aneh dalam PMK. Karena pada tahun anggaran 2018, sebelumnya sudah masuk di KUA PPAS senilai Rp3,3 triliun. Namun, tiba-tiba turun PMK baru, memotong anggaran sekitar Rp700 miliar akibatnya, KUA PPAS tahun anggaran 2018 langsung dipotong menjadi Rp2,5 triliun. “Jadi APBD ini tinggal akan dibahas berapa untuk anggaran belanja langsung dan tidak langsung. Soal besarannya, tidak akan berubah lagi,” katanya.
Belajar dari pengalaman daerah lain, dimana banyak daerah yang tidak mengandalkan APBD dari dana bagi hasil, DPRD Kutim juga ingin hal yang sama. Kutim ingin meningkatkan porsi APBD yang berasal dari Pendapatn Asli Daerah.
“Kita selama ini terlena dengan DBH. Setelah dipotong, kita defisit. Karena itu, agar tidak terjadi masalah ini terus menerus, maka kita ingin meningkatkan PAD. Kini kami di DPRD, sedang membahas beberapa perda yang bisa menghasilkan PAD. Kami berharap, dalam tahun ini, perda-perda ini bisa diselesaikan,” bebernya.(ADV-32/DPRD KUTIM)