SANGATTA,Suara Kutim.com (22/11)
Bagi masyarakat Aceh, gelombang tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 lalu benar-benar memilukan, peristiwa kelam yang merenggut ribuan nyawa itu terus dikenang terutama mereka yang merasakan langsung hempasan ombak Samudra Hindia yang terjadi pukul 08.45 Wita itu.
Gelombang setinggi 40 meter, digambarkan sejumlah warga seperti raksa bangun tidur yang awalnya terlihat kecil namun tiba-tiba membesar dan langsung menyapu apa saja yang ada, selain ribuan bangunan yang dilahap termasuk kapal-kapal nelayan, sebuah kapal berbobot 2.600 ton dan sedang berada laut dengan mudahnya diseret ke tengah kota. “Jangankan kapal-kapal kecil, yang besar saja dengan mudah diterjang dan dihancurkan oleh gelombang tsunami,” kata Syahrial (52).
Melihat PLTD Apung milik PLN yang selama ini lego jangkar di Pantai Ulee Lhee, oleh gelombang tsunami tiba-tiba sudah berada di Gampong Punge Blang Cut Kota Banda Aceh, berjarak 5 Km dari bibir pantai.
Syahrial yang menemai Suara Kutim.com mengunjungi tempat-tempat terparah saat tsunami terjadi, mengaku heran kapal yang semuanya besi, tiba-tiba saja ada di tengah kota dalam waktu beberapa menit. “Kota kami ini seperti ditenggelamkan saja waktu itu, air ada di atas,” ujar pria yang sehari-hari sebagai pengemudi becak motor ini.
Melihat bobotnya yang berat dan besar, akhirnya PLTD Apung yang saat kejadian dioperasikan 4 orang pegawai PLN, akhirnya dibiarkan di tempat ia terdampar. Lokasi yang tidak jauh dari Museum Tsunami Aceh, sejak bulan April 2012 dijadikan monumen berikut fasilitas lainnya.
Monumen PLTD Apung “Korban” Tsunami ini terbuka untuk umum dan tanpa tiket, semua bebas masuk asalkan jangan waktu shalat karena semua petugas dan masyarakat akan melaksanakan shalat. “Silahkan jika ingin bersedekah untuk pembangunan masjid,” kata seorang petugas ketika sejumlah wisatawan asal Malaysia hendak meninggalkan arena monument.(SK-04/SK-13)