SUARAKUTIM.COM, JAKARTA – Digitalisasi bukan suatu perihal yang harus ditakuti, ia bagaikan sebuah senjata yang terus berinovasi sesuai dengan kemampuan penggunanya. Dengan kemampuan yang tidak terhalang oleh perihal ketertinggalan, keterpojokan, hingga keterdalaman.
Anak-anak muda generasi Z dalam hal ini paling diutamakan untuk mampu memegang arus besar digitalisasi, dimana ini tidak hanya berbicara tentang Indonesia saja namun meluas hingga negara-negara lain di dunia.
Sumber informasi pada masa lalu hanyalah koran dan televisi, yang pada masa sekarang hal tersebut adalah perihal prasejarah. Karena sejarah sekarang ini dibentuk oleh pondasi digitalisasi, jika sekarang hal ini adalah dunia maya yang mempergunakan alat berupa gadget. Maka pada masa depan perihal digitalisasi bahkan dapat bergabung menjadi satu dalam tubuh manusia, berupa mimpi masa lalu yang jadi kenyataan yakni robotik.
Hal tersebut diatas dipahami benar oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat yang kemudian menggelar Safari Jurnalistik (Safjur) 2021 Sesi III, pada Rabu 12 Oktober 2021 siang tadi. “Masa Depan Free to Air di Era Digital dan 5G”, Ketua PWI Pusat Atal S Depari menekankan bagaimana informasi digital melalui televisi akan terimbas besar, untuk itu dibutuhkan profesionalisme para pelakunya.
“Nirkabel 5G merupakan generasi kelima, memang akan mengubah konsep digital ke depan. Ketika televisi 60 tahun lalu tiba ke rumah kita, konten itu disiarkan langsung oleh sejumlah kecil stasiun TV yang mengontrol akses ke gelombang udara,” ungkap Ketua PWI Pusat.
Namun pada akhir-akhir ini televisi berkembang pesat dalam tayangan yang luas dan beragam secara langsung maupun on demand. Dimana secara penuh ditunjang teknologi broadband internet, secara pergeseran pengiriman analog ke digital. Era yang mau tidak mau, suka tidak suka, secara perlahan masuk ke dunia digitalisasi.
“Saya percaya teman-teman wartawan atau sebagian besar masyarakat Indonesia, sangat mudah mengakses konten pilihan masing-masing di perangkat apapun. Dimanapun dan kapanpun, dari berbagai sumber atau platform yang disebut sebagai Over the Top (OTT) ” ujarnya.
Istilah OTT sendiri adalah bisnis layanan digital dengan konten berupa data informasi atau multimedia melalui internet. Laporan The Trade Desk tahun 2021 berjudul The Future of TV, menerangkan bahwa ada lebih 180 juta pemirsa di Asia Tenggara yang mengkonsumsi 8 milyar jam konten OTT melalui internet setiap bulannya.
“Hal ini diakui telah mendorong transformasi di landscape TV, paling tidak dianggap mengganggu prime time industri TV free to air (FTA). Ditambah dengan pandemi Covid yang dianggap pendorong utama, percepatan semua ini. 57 persen penonton di Asia Tenggara, menonton lebih banyak OTT daripada sebelum pandemi. Dan 39 persen penonton berniat akan meningkatkan penggunaan OTT setelah pandemi,” ungkap Atal S Depari.
Masyarakat Indonesia yang menonton televisi pada tahun 2021 ini, durasi menontonnya menjadi 2 jam 50 menit perhari atau berkurang 14 menit ketimbang tahun 2020. Sedangkan yang menggunakan internet justru naik menjadi 8 jam 52 menit per harinya, atau bertambah 51 menit ketimbang tahun 2020 lalu.
Pengguna media sosial juga melonjak lebih dari 30 persen selama setahun terakhir. Sehingga secara global menjadi hampir 4,2 milyar, dengan kata lain ada lebih dari 1 milyar pengguna baru dalam tiga tahun terakhir. Dari angka-angka ini, pelajaran apa yang bisa kita petik? Perkembangan ekonomi digital dan teknologi saat ini, diyakini akan terus berkembang. Sebagai Ekonomi Baru, setidaknya hingga tahun 2030.
“Ini terlihat dari outlook ekonomi global, perkembangan pasar modal, serta kenaikan ekonomi digital dan e commerce. Ekonomi ditigal akan tumbuh delapan kali lipat di tahun 2030. Dan e commerce memiliki peran besar, akan tumbuh sebesar 34 persen. Selain soal ekonomi, era digitalisasi dengan hadirnya 5G. Akan membuka peluang sekaligus tantangan bagi wartawan maupun masyarakat secara luas,” ujar Atal.
Ketua PWI Pusat meyakini dengan lahirnya televisi digital, jelas akan membutuhkan tenaga-tenaga SDM yang kapabel dan kompeten. Media televisi tentu membutuhkan konten-konten yang unik dan spesifik, yang menyasar komunitas atau wilayah tertentu. “Maka siapapun yang memiliki ide, serta kredibilitas untuk membuat program-program yang mengedepankan keragaman, lokalitas, dan edukasi dalam berbagai aspek. Akan memenangkan persaingan ini,” tegasnya.
Program-program tersebut jelas amat dibutuhkan pemirsa, namun di sisi lain media televisi harus berhadapan langsung dengan OTT. Yang diisi oleh para pemain-pemain besar dunia dengan konten-konten beragam. Meski kecenderungan jumlah penonton OTT terus meningkat, namun media televisi dan wartawan televisi tidak perlu gentar.
“Untuk Indonesia, setidaknya televisi belum ditinggalkan penonton. Mereka tidak serta-merta beralih ke digital. Indikatornya lihat bagaimana gap (kesenjangan, red) media digital dan non digital. Amerika yang sudah pesat teknologi internetnya, baru pada 2019 iklan digitalnya baru bisa mengalahkan iklan di semua platform lain termasuk televisi,” terangnya lebih jauh.
Di Indonesia menurut Nielsen, iklan di televisi masih menguasai sebesar 60 persen. Sementara iklan digital baru mencapai 20 persen, artinya pergeseran ini berjalan namun masih amat pelan. Tetapi masa depan media terutama setelah switch off analog ke digital tahun depan, akan membuat banyak hal terbuka. Inilah yang menjadi harapan dan keinginan besar masyarakat di Indonesia. Ini peluang tentunya! (Nal)