Beranda ekonomi Setelah Vakum, Program Food Estate Kembali Digalakan Pemkab Kutim

Setelah Vakum, Program Food Estate Kembali Digalakan Pemkab Kutim

0

Loading

SANGATTA,Suara Kutim.com (4/8)
Konsep pembangunan berbasis pengembangan agri bisnis dan agro industri, digalakan Pemkab Kutai Timur. Pengembangan sektor pertanian dan perkebunan diharapkan menjadi salah satu faktor tumpuan daerah sehingga berpengaruh terhadap pendapatan daerah yang selama ini berharap bagi hasil sektor pertambangan.
Untuk memwujudkan keinginannya, Bupati Ismunandar minta lahan-lahan produktif tidak sepenuhnya menjadi lahan perkebunan sawit tetapi tetap mengalokasikan lahan produktif yang ada untuk food estate. “Saya sudah menginstruksikan jajaran Pemkab Kutim jika ada investor yang masuk dan ingin membuka lahan untuk kepentingan pertambangan maupun perkebunan, agar tidak mengganggu lahan-lahan produktif pertanian dan pangan yang ada,” ujar Ismunandar.
Disebutkan, dengan kebijakan ketat dalam pemberian ijin untuk pertambangan dan perkebunan, diharapkan Kutim tetap menjaga ketersediaan lahan-lahan pertanian sehingga upaya pengembangan sektor pertanian dan pangan tetap dilakukan.
Saat ini, kata Ismunandar kepada wartawan, Kutai Timur sedang melakukan budidaya singkong gajah di beberapa kecamatan yang potensinya dilirik pemodal besar.
Terpisah, Pelaksana Tugas (PlT) Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan, Marjoni menyebutkan konsep Food Estate sendiri sudah ada sejak Kutim dipimpin Awang Farok dan Isran Noor yang menyediakan lahan seluas 62.630 hektar yang tersebar di Busang, namun program food estate hilang dan kini hanya diistilahkan sebagai lahan pertanian.
Dikembalinya konsep food estate dalam kepemimpinan Bupati Ismunandar, Dispertanak Kutim aku Marjoni menyambut baik. Diakui, selama ini Dispertanak melakukan pembinaan terhadap petani yang sudah memiliki lahan sendiri dengan memberikan bimbingan, dorongan dan fasilitasi. “Dengan konsep food estate, Dispertanak langsung berhadapan dengan investor pertanian yang siap menggarap lahan pertanian dan menyerap warga lokal sebagai tenaga kerja di bidang pertanian. Konsep tersebut tidak jauh berbeda dengan pola perkebunan sawit sehingga selain budidaya pertanian dilakukan secara modern juga masyarakat lokal juga mendapatkan lapangan pekerjaan,” beber Marjoni.(SK3)