SANGATTA,Suara Kutim.com (14/5)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diakui sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) masa depan yang tak akan terpengaruh keadaan. Namun, kebijakan Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang, yang menyatakan penghapusan PBB berdampak langsung dengan animo masyarakat untuk tidak membayar PBB.
Disisi lain, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) se Indonesia termasuk Kutim belum mendapat pentunjuk teknis dan pelaksanaan penghapusan PBB. Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kutim Hj Yulianti didampingi Kabid Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah Musyaffa menyebutkan saat dilakukan sosialisasi tentang PBB masyarakat teriak untuk apa kami bayar PBB, sedang menteri bilang sudah dihapus. “Kondisi yang ada sekarang menjadi pukulan bagi jajaran Dispenda,” kata Musyaffa ketika ditanyaw wartawan seputar adanya sikap masyarakat menceritakan menolak bayar PBB, setelah mendapat pernyataan pemerintah pusat bahwa PBB dihapus.
Musyaffa menyebutkan, Dispenda tidak bisa berbuat apa-apa jika masyarakat menolak membayar sedangkan aturan mainnya belum jelas terutama bagian yang mana dihapus dan tidak. Menurut Musyaffa, yang ia pahami bahwa yang dihapus PPB-nya adalah warga tidak mampu atau keluarga miskin tapi kriteria orang tidak mampu juga belum jelas. “Tantangan masa depan dalam melakukan penagihan PBB karena orang mampu akan mengatakan kenapa dibedakan, ada yang gratis dan ada yang bayar. Bisa jadi, mau juga dikategorikan miskin lagi, karena mau gratis pula. Karena itu dibutuhkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, agar jelas mana yang gratis. Namun yang terjadi, sudah publikasikan padahal belum jelas apa yang harus dilakukan di daerah, jadi yang disalahkan masyarakat justru petugas lapangan,” keluh Musyaffa.
Disebutkan, saat ini PBB sektor kecamatan di Kutim terlalu kecil yakni hanya Rp1 miliar. Namun dengan adanya penghapusan itu maka PBB ke depan, harus dilihat lagi dampaknya seperti apa. “Kalau hanya warga miskin yang dihapus, maka dampaknya kecil kalaupun semua yang masuk Pajak Perkotaan, Perdesaan (P3) dihapus saat ini pun hanya bernilai total Rp3 miliar, jadi dampaknya pada PAD juga tidak banyak. Tapi untuk ke depan, sekali lagi kalau hanya untuk warga miskin yang dihapus PBB-nya, maka potensi PBB ini akan tetap diandalkan,” ungkapnya.(SK-02)