SuaraKutim.com Sangatta – Memperingati HUT ke-23 Kabupaten Kutai Timur, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Fraksi Rakyat Kutim (FRK), kelompok Cipayung, Forum TK2D, dan Perkumpulan Komunikasi Saudagar, menggelar mimbar bebas bertajuk “Kutim Bermasalah” di Taman Bersemi (eks STQ) pada hari Minggu (16/10), sore.
Dikatakan Direktur FRK, Owel, kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai upaya menuntut Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Pemkab Kutim) agar melakukan evaluasi ekstensif tugas dan fungsi birokrasi. Karena menurutnya, Pemkab Kutim perlu mengaktifkan kembali kebijaksanaannya terhadap masalah warga di tingkat tapak, yang telah malfungsi akibat pertikaian kepentingan.
Dijelaskan Owel, berdasarkan survei Penilaian Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (SPI KPK) Tahun 2021, dari total 503 kabupaten kota Kutai Timur termasuk ke dalam 100 daerah, yang memiliki pengalaman adanya konflik kepentingan dengan persentase sebesar 50 persen.Kemudian penilaian lainnya yakni mengenai pengalaman melihat atau mendengar keberadaan nepotisme dalam promosi, atau mutasi pegawai 36,8 persen. Pengalaman adanya praktik pungli terjadi di KLPD 33,3 persen, dan Kualitas transparansi layanan publik sebesar 41,7 persen.
“Hasil survei SPI KPK tahun lalu seharusnya menjadi alarm bagi Bupati dan Wakil Bupati, untuk menyudahi conflict of interest. Karena rakyat akan menjadi korban atas ketidakbijaksanaan, yang ditimbulkan,” ketus Owel.
Lebih jauh Direktur FRK itu menjelaskan, sepatutnya kepala daerah kembali ‘bercermin’ dengan sumpah janjinya saat dilantik sebagai pemimpin Kutim, Meski begitu, sambungnya, hingga detik ini banyak masalah warga yang tidak kunjung diselesaikan oleh kepala daerah.
“Terutama soal pemulihan hak korban banjir Sangatta, ketidakpastian nasib dan gaji Tenaga Kerja Kontrak Daerah (TK2D), absennya pemerintah pada konflik tenurial masyarakat adat hingga sengkarutnya tata kelola pembangunan,” sambungnya
Pada kesempatang yang sama, Ketua Forum TK2D Kutim, Mursalim, mengungkapkan masalah kesejahteraan tenaga kontrak di Pemkab Kutim perlu mendapatkan tindak lanjut lebih jauh dari kepala daerah. Sebab, sejak tidak menerima gaji selama tiga bulan terakhir kondisi keuangan para TK2D terlebih yang sudah berkeluarga, atau tidak lagi mempunyai sumber penghidupan lain semakin mengkhawatirkan.
“Mulai banyak yang krisis keuangan bahkan terakhir, kemarin, saya didatangi dari Kecamatan Muara Wahau itu jumlahnya ada 40 orang termasuk TK2D. Mereka mengatakan sampai sudah terjual cincin kawin, yang tersisa di jari,” ungkapnya.
Ketidakpastian kebijakan Pemkab Kutim, lanjutnya, mengenai keganjilan jumlah data dan nasib TK2D juga sudah dilaporkan pihaknya ke Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Timur beberapa bulan, yang lalu.
Terpisah, Ketua Perkumpulan Komunikasi Saudagar Kutim, H Suki, berharap Pemkab Kutim dapat mengatur tata kelola toko-toko modern yang semakin banyak keberadaannya di berbagai wilayah.
“Dengan membentuk dan memberlakukan peraturan kepala daerah, tentang moratorium izin pendirian toko modern di Kabupaten Kutai Timur, misalnya,” ungkapnya
Selain itu, H Suki juga mengharapkan agar Pelabuhan Kenyamukan dapat segera rampung infrastrukturnya demi percepatan pembangunan, dan peningkatan perekoniman para pedagang.
Untuk diketahui, diakhir mimbar bebas seluruh massa aksi bersepakat membentuk balai rakyat. Sebuah wadah rakyat untuk tanggap isu terkini di Kutim, dan sekaligus menyerukan penyelesaian bersama atas masalah jalan rusak di berbagai penjuru. (Red/SK-5)