MAHALNYA petasan buatan pabrik menjadi alasan sebagian masyarakat di pedalaman Kutim membuat meriam bambu atau lebih dikenal laduman. Penggunaan meriam bambu selama bulan puasa Ramadhan serta menyambut 1 Syawal sebagai pertanda kedatangan hari Raya Idul Fitri, hingga kini tetap eksis mesti tidak seindah petasan buatan Negeri Cina. “Selain petasan dilarang, juga dapat menganggu warga lain karena suaranya keras sementara laduman hanya suaranya kecil sekedar hiburan saja,” kata Rafi warga Rt 2 Desa Kelinjau Ulu Kecamatan Muara Ancalong.
Ditemui Suara Kutim.com, ia menyebutkan menggunakan meriam bambu hanya sekedar penghibur terutama bagi masyarakat pedalaman yang tidak semuanya bisa menggunakan petasan atau kembang api yang harganya cukup mahal. “Ketimbang beli kembang api atau petasan yang sekali digunakan habis, tapi dengan meriam bambu atau warga Kutai menyebut letupan tidak mahal cukup menggunakan sepotong bamboo ukuran satu meter lebih dan minyak tanah sedikit sudah jadi,” beber Rafi.
Untuk menggunakan meriam bambu yang oleh warga Banjar disebut laduman, pemain cukup memanaskan bagian tempat minyak tanah dimasukan. Setelah dirasa panas, suara meriam bambu bisa dicoba dengan cara membakar pada lubang di bagian atas seraya ditutup dengan kain. “Main letupan ini sejak kecil, asyik namun jika tidak hati-hati bisa kerinting bulu mata dan alis,” cerita Rafi seraya menyebutkan tidak terhitung berapa kali bulu matanya hangus.(K1)