SANGATTA (3/1-2019)
Kepala Badan pendapatan daerah (Bapenda) Kutai Timur (Kutim) Musyaffa mengaku kecele, kerena saat penyusunan RAPBD Perubahan 2018 terjadi kenaikan hingga Rp2,8 T sehingga menjadi Rp3,7 triliun, suatu angka yang luar biasa besar dalam sejarah Pemkab Kutim.
Dasar perubahan APBD Kutim ini, tiada lain PMK Nomor 103 Tahun 2018 yang menyebutkan Kutim akan mendapat Rp918 miliar dana kurang salur, terlebih adanya PMK yang lebih menguntungkan karena kenaikan Rp57 miliar. “Dengan PMK itu, Bapenda Optimis susun APBD perubahan. Namun, faktanya, yang disalurkan ke Kutim, hanya Rp200 miliar, padahal, APBD perubahan telah ditetapkan, kegiatan pun sudah dilaksanakan, akibatnya defisit Rp711 miliar,” aku Musyaffa.
Sebagai penanggungjawab penerimaan APBD Kutim, Musyaffa mengaku bertanggungjawab dan ia akan melakukan komunikasi dengan Kemenkeu, untuk mempertanyakan penyebab tidak utuhnya dana kurang salur diterima Kutim.
“Diakui, pada penyusunan APBD perubahan tahun 2018 kami terlalu optimis, meskipun sebenarnya tidak dianggarkan seratus persen, ternyata masih tidak terpenuhi,” ungkapnya seraya menambahkan tidak dilakukan perubahan APBN memastikan pendapatan Kutim tetap.
Meskipun tertunda disalurkan, dan mengakibatkan fedisit, Musyaffa berharap dana kurang salur Rp711 miliar segera pada trowulan pertama tahun 2019 sudah diterima Pemkab Kutim karena berdampak besar terhadap program Pemkab Kutim.
Ditanya apakah Pemkab Kutim akan melakukan gugatan kepada Menkeu, seperti yang dilakukan Gerakan 20 Mei, ia enggan memberikan jawaban karena merupakan ranah Bupati, Wabup dan DPRD Kutim. (SK2/SK11)