SANGATTA (15/6-2019)
Keuangan Indonesia yang terus mengalami defisit penerimana, akiabt menurunnya pendapatan sektor perdagangan khususnya ekspor dan impor menjadi salah satu penyebab terjadinya turbulensi keuangan daerah, terlebih bagi daerah yang mengandalkan dana bagi hasil atau DBH dan royalty antara pusat dan daerah seperti Kutai Timur (Kutim).
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kutim, Musyaffa penurunan target pendapatan negara pada tahun 2019 menjadi pertimbangan Pemkab Kutim dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun 2019. “Kutim adalah salah satu daerah yang hingga saat ini APBD dominan masih bertumpu pada DBH dan Royalti antara negara dan daerah,” terangnya.
Diungkapkan, saat ini pemerintah pusat belum menyalurkan sisa dana kurang bayar ke Kutim sebesar Rp432 miliar. Rencananya, APBD Perubahan tahun ini, dana kurang bayar tersebut akan dimasukkan dalam penyusunan APBD-P 2019. Namun, ujar Musyaffa, melihat kondisii penerimaan negara dana kurang salur belum bisa dipastikan masuk.
Ia menyarankan, Bappeda dan BPKAD Kutim, tidak melakukan program belanja baru. Bahkan ada baiknya Pemkab Kutim menurunkan target belanja jauh dari proyeksi nilai pendapatan daerah pada perubahan ini sebagai upaya antisipasi defisit keuangan.
Ditambah Musyaffa, akhir tahun 2019 merupakan batas jatuh tempo Indonesia membayar bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sehingga tidak menutup kemungkinan uang yang seharusnya disalurkan ke daerah digunakan menutupi kebutuhan membayar cicilan dan bunga pinjaman tersebut.
“Bisa saja sebelum akhir tahun nanti, pusat akan kembali mengalurkan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK terkait adanya dana kurang bayar lagi ke daerah, sebagaimana yang terjadi beberapa tahun belakangan ini,” tandasnya.(SK2)