SuaraKutim.com, Kutai Timur – Kebijakan Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit yang didorong oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) beberapa waktu lalu dan telah masuk dalam arah kebijakan umum Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Tahun Anggaran 2023, kini menuai sorotan publik.
Direktur Forum Himpunan POKJA 30 Samarinda, Buyung Marajo mempertanyakan basis data yang valid atas luasan perkebunan sawit yang ada di wilayah Kalimantan Timur terkhusus di Kabupaten Kutai Timur.
“Basis datanya yang perlu kita ketahui itu, berapa sih luasan (kebun sawit, red), karena ada pajak dan sebagainya. Yang kedua, berapa sih penghasilan sawit kita, kita ini kan banyak mengklaim bagi hasil ini dan itu, tapi basis datanya gak punya,” ungkapnya, Jumat (18/11/22).
Selanjutnya pria yang akrab disapa Buyung tersebut mengomentari asumsi pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kutim, yang sebelumnya disampaikan oleh Wakil Bupati Kutai Timur, Kasmidi Bulang akan meningkat menjadi lima triliyun rupiah, akibat dana bagi hasil sawit.
Baginya penetapan asusmsi itu terlalu terburu-buru sebelum melihat basis data yang ada. Dirinya juga mencontohkan beberapa temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang banyak mengungkap kasus pelanggaran di sektor perkebunan kelapa sawit.
“Di cek dulu, perusahaan-perusahaan yang ada. Itukan jangan-jangan ada yang tidak bayar pajak, coba cek lewat kordinasi dan supervisi (korsup) KPK, yang saat ini memantau kasus korupsi di sektor perkebunan sawit dan pertambangan,” bebernya.
Terpisah Ketua Umum Federasi Persatuan Buruh Militan (FPBM) Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Kutai Timur, B. Aholiap Pong menyatakan bahwa saat ini yang terpenting adalah kehadiran pemerintah untuk mengatasi setiap persoalan yang ada di perkebuanan sawit, terutama persoalan ketenagakerjaan.
“Ada atau tidak adanya DBH kan, yang penting negara hadir untuk melihat kondisi para pekerja, menjamin keselamatan kerjanya, menyediakan tempat tinggal dan menjamin hari tua mereka. Itu bahkan perlindungan dasar itu saja tidak ada,” ungkapnya.
Lebih jauh ia menekankan bahwa dengan adanya asumsi APBD 2023 yang meningkat akibat DBH Sawit, maka sudah seharusnya diperuntukan untuk kesejahteraan buruh sawit yang ada di seluruh wilayah Kutim. Sebab baginya tidak mungkin ada pendapatan daerah yang maksimal jika para pekerja perkebunan sawit tidak sejahtera.
“itu kan berarti meningkat dong pendapatan daerah, ya berarti harus ada peningkatan upah juga untuk buruh sawit. Jangan sampai APBD sampai lima triliun tapi upah tetap sama, ya kesejahteraanya gak naik” pungkasnya.
Diketahui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan benchmark digitasi tutupan sawit di Indonesia, yang terkonsolidasi dengan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Informasi Geospasial. Hasilnya sekitar 16,3 juta hektare, namun hanya terdapat sekitar 14 juta hektare yang memiliki izin.(Red/SK-05)