SuaraKutim.com, Sangatta – Proses pembuatan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Masyarakat Hukum Adat Kutai Timur masih berada dalam tahap perdebatan di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur.
Ketua Bapemperda, Agusriansyah Ridwan mengungkapkan bahwa isu yang kompleks dan sensitif seperti regulasi Masyarakat Hukum Adat menuntut keterlibatan seluruh stakeholder untuk mencapai kesepakatan yang terbaik.
Dalam wawancara dengan beberapa media, dirinya menjelaskan bahwa pembuatan Raperda tentang Masyarakat Hukum Adat merupakan proses yang melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan yang beragam.
Berbagai pandangan dan perspektif masyarakat adat, tokoh adat, akademisi, serta kelompok advokasi dan hak asasi manusia perlu diakomodasi secara cermat untuk mencapai kesepakatan yang konsisten dengan kepentingan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Kutai Timur.
“Belum ada disahkan tapi kita sudah masukan di Bapemperda, terkait soal perda masyarakat adat cuman itukan memang diskusinya, itu memang apakah dibahas itu tentang hutan adat atau terkait soal perda adatnya,” jelasnya beberapa waktu lalu
Namun, karena kompleksitas isu dan beragamnya pandangan yang ada, proses pembuatan Raperda ini belum dapat diselesaikan secara cepat. Bapemperda memahami pentingnya menyusun Raperda Masyarakat Hukum Adat secara seksama dan hati-hati untuk menghindari konflik atau implikasi yang merugikan bagi masyarakat adat.
“Kemarin ada beberapa wilayah yang mengajukan misalnya adat Wehea dan ada juga suku Basap, bagusnya ini kan dibikinkan hanya satu perda dan itu masuk di perda inisiatif, kita itu tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, memang masih debateble,” tutupnya. (red/SK-05/adv)