PANASNYA lilin yang kerap mengenai tangannya tidak masalah bagi Tohiratun (39) warga Desa Manunggal Jaya Kecamatan Rantau Pulung. Dalam rumah sederhana yang ia tempati bersama orang tuanya sejak tahun 2006 lalu ini, wanita yang akrab disapa Atun ini asyik menari-menarikan tangannya di selembar kain warna putih.
Sehingga dalam hitungan beberapa menit kemudian, kain putih yang tergantung itu sudah mulai terlihat menjadi selembar kain bernilai tinggi yakni batik. Kepiwaiannya membuat batik Wakaroros menjadikan Rantau Pulung menjadi salah satu pusat kerajinan Batik Wakaroros yang motifnya dari Suku Dayak Basab.
Kepada wartawan yang berkunjung ke kediamannya, Atun mengaku ia mendapat ilmu membantik dari Masriah – ibu kandungnya yang pernah menjadi pembuat batik di Desa Ciwaringin Cirebon Jawa Barat. Kemampuan Masriah membantik, mengalir pada diri Atun sehingga mereka bersama-sama mengembangkan usaha batik di Rantau Pulung. “Karena batik tulis, maka prosesnya lama berbeda dengan cetak bisa cepat,” kata Atun ketika menerima kunjungan PWI Kutim yang mengadakan Safari Jurnalistik ke Rantau Pulung, Rabu (16/1) lalu.
Dikatakan Atun, untuk membuat selembar batik dibutuhkan waktu sehari sehingga jika ada permintaan banyak ia terpaksa kerja lembur atau melibatkan tetangga. Atun yang sedang memenuhi pesanan Kapolres Kutim AKBP Teddy Ristiawan, untuk pewarna menggunakan getah kayu besi atau ulin. “Getah kayu ulin sebagai pewarna kami dapatkan selama berada di Kutim ini, sebelumnya menggunakan pewarna kimia,” jelasnya.
Sebagai home industri, Batik Wakaroros yang dikembangkan keluarga Masriah ini pada awalnya mengalami kesulitan dalam pemasaran maupun mendapatkan bahan baku seperti lilin sehingga harus memesan dari Jawa Barat.
Belakangan berkat kepedulian PT Kaltim Prima Coal (KPC) secara perlahan usaha dari keluarga petani sederhana ini, secara perlahan mulai bangkit. Melalui Olsabara Sangatta, Batik Wakaroros karya keluarga Masriah mudah dipasarkan, selain itu bahan baku untuk membantik tidak kesulitan karena Olsabara secara rutin menyediakan. “Alhamdulillah, sebulan mencapai lima juta belum dikurangi biaya produksi dan lainnya,” ungkap Atun ketika ditanya omset.
Batik Wakaroros diakui Atun sudah mulai dikenal, sehingga Sanggar Batik Masriah yang berada areal pemukiman transmigrasi ini kerap kebanjiran order. “Alhamdulillah, Allah SWT telah memberi kami rejeki dari membatik,” kata wanita mengaku tidak melepas perannya sebagai ibu rumah tangga meski setiap hari harus membuat batik.(SK11)