SUARAKUTIM.COM, SANGATTA – Meski Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur (Kutim) sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Sarang Burung Walet, namun ternyata hingga saat ini pemerintah Kutim masih kesulitan dalam mengoptimalkan pemasukan asli daerah (PAD) dari sektor pajak sarang burung walet, yang disinyalir berpotensi miliaran rupiah.
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kutai Timur, Syahfur menuturkan jika pihaknya telah berupaya untuk mendeteksi dan mencatat transaksi penjualan sarang burung walet rumahan, meski hingga saat ini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Kendala utama adalah kurangnya transparansi dari para pengusaha burung walet rumahan.
“Selama ini pengusaha burung walet kurang transparan. Seharusnya setiap kali selesai transaksi mereka lapor ke Bapenda, tapi kewajiban itu jarang atau lupa dilaksanakan,” ujar Syahfur.
Data yang dimiliki Bapenda menunjukkan bahwa terdapat ratusan usaha sarang burung walet rumahan di Kutim, belum termasuk yang beroperasi di wilayah pedalaman yang sulit dijangkau. “Kami mencatat sekitar ratusan usaha sarang burung walet di Kutim, tapi ini belum termasuk yang belum terdata, terutama yang berada di pedalaman,” tambah Syahfur.
Ia mengakui, ketidakoptimalan pemungutan pajak ini sebagian besar disebabkan oleh minimnya sosialisasi mengenai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Sarang Burung Walet. “Perda ini sudah lama ada, tapi minimnya sosialisasi membuat banyak pengusaha tidak mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam membayar pajak,” jelasnya.
Untuk mengatasi masalah ini, Bapenda berupaya mencari formulasi yang tepat guna mendeteksi transaksi penjualan sarang burung walet. “Kami berharap bisa menemukan cara yang efektif agar potensi penerimaan pajak (sarang burung walet, red) tidak hilang,” kata Syahfur.
Bapenda juga berencana untuk bekerja sama dengan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Sangatta, camat, dan kepala desa setempat dalam membentuk tim gabungan yang akan menginventarisasi jumlah usaha sarang burung walet yang beroperasi di Kutim. “Data yang diperoleh akan dianalisis untuk menentukan besaran objek dan potensi pajak sarang burung walet,” ujarnya.
Pemungutan pajak usaha burung walet didasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010. Di Kutim sendiri, pemungutan ini diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2011.
“Kami terus melaksanakan sosialisasi ke seluruh kecamatan dengan melakukan pembinaan, penyuluhan, dan konsultasi pajak. Harapannya, masyarakat atau wajib pajak mengetahui hak dan kewajibannya sehingga potensi pajak sebagai instrumen pendapatan negara bisa optimal,” tutup Syahfur.(Red-SK/ADV)