SANGATTA (30/7-2019)
Anggota PWI yang berada di Kutai Timur (Kutim) harus berhati-hati dalam memberitakan kasus pidana yang melibatkan anak di bawah umur (ADU). Pasalnya, dalam kesepakatan Dewan Pers dengan Komisi Perlindungan Anak, ditegaskan Syafranuddin –sebagai nara sumber dalam pertemuan anggota PWI Kutim, maksud pemberitaan ramah anak tiada lain menjaga privasi dari seorang anak yang masih dalam masa pertumbuhan.
Pedoman pemberitaan ramah anak, kata Ivan – sapaan Syafranuddin di pertemuan yang dipimpin Ketua PWI Kutim, Joni Sapan Palelleng, agar media tidak mengungkapkan identitas anak di bawah usia 18 tahun secara jelas. Apabila melakukan pengeksposan identitas anak, dikenakan hukuman penjara maskimal 5 tahun dan denda maksimal Rp500 Juta.
Dewan Pers dijelaskannya, telah mengeluarkan pedoman pemberitaan ramah anak dengan harapan pers bisa terlindung dari ancaman pidana. Selain itu, terbitnya pedoman pemberitaan ramah untuk menghindari kriminalisasi. “Media harus turut berperan melindungi anak melalui berita yang disajikan, karenanya sebelum membuat berita harus dilihat segala aspek terutama terkait anak di bawah umur,” beber Ivan yang mengaku persoalan PPPRA menjadi salah satu materi uji pada UKW yang belum lama ini ia ikuti di Samarinda.
Menjawab pertanyaan sejumlah anggota PWI di Kutim terkait apa saja batasan diperkenankan, diungkapkan pedoman yang diterbitkan dewan pers dinilai penting karena tujuannya mencegah kriminalisasi dalam pengungkapan identitas anak yang membutuhkan ruang hidup dan memaksimalkan pertumbuhannya.
Disebutkam, media tidak boleh mengeksploitasi pemberitaan terhadap anak sedetail mungkin terlebih-lebih menyertakan gambar. “Media harus memberitakan kasus anak dengan identitas yang secukupnya, tak perlu secara detail, karena itu wartawan yang ada di lapangan harus bisa memilah sejak awal,” pesannya.
Pertemuan yang diakhiri dengan menikmati gorengan itu, disampaikan 12 poin pedoman pemberitaan ramah anak, pertama wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
Kemudian memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
Ketiga, wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
Keempat, wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak. Kelima, wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
Enam, wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK. Ketujuh, Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
Delapan, wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.(SK4)