Samarinda – Fraksi Partai Gerindra DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) menyampaikan serangkaian kritik terhadap pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2024, mulai dari ketimpangan sosial, belum optimalnya belanja daerah, hingga kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dianggap belum maksimal menyumbang pendapatan asli daerah.
Pandangan ini disampaikan oleh Juru Bicara Fraksi Gerindra, Andi Muhammad Afif Raihan Harun, dalam Rapat Paripurna ke-19, Selasa (17/6/2025), yang dipimpin Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud dan dihadiri 39 anggota dewan serta Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud.
Afif menegaskan bahwa laporan pertanggungjawaban keuangan daerah harus disampaikan secara akuntabel dan transparan. Ia meminta agar tata kelola keuangan diperbaiki dan pengawasan internal diperkuat untuk mencegah potensi penyimpangan.
Dalam paparannya, Fraksi Gerindra menyoroti bahwa meskipun angka kemiskinan menurun dari 6,11% pada 2023 menjadi 5,78% pada 2024, namun indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan justru meningkat.
“Ini menunjukkan bukan hanya soal jumlah, tetapi ada ketimpangan yang makin tajam. Pemerintah perlu menjamin akses yang lebih merata terhadap peluang ekonomi,” kata Afif.
Fraksi Gerindra juga menyoroti ketimpangan antara kabupaten dan kota, serta tingginya tingkat pengangguran terbuka di Kaltim yang mencapai 5,14%, tertinggi di antara provinsi lain di Kalimantan.
“Ini ironi. Kalimantan Timur adalah provinsi dengan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kalimantan, tapi tingkat penganggurannya justru tertinggi. Perlu strategi penyerapan tenaga kerja yang lebih konkret,” ujarnya.
Terkait pendapatan daerah, Fraksi Gerindra mencatat bahwa pendapatan dari lain-lain sumber sah hanya mencapai 72,2% dari target. Mereka mendesak pemerintah untuk mengoptimalkan peran BUMD, mengingat masih ada BUMD yang merugi.
Sementara itu, realisasi belanja pendidikan telah mencapai Rp3,79 triliun atau 21,53% dari total belanja daerah. Meski demikian, Gerindra meminta agar efektivitas program pendidikan, khususnya pendidikan luar biasa dan mutu guru, terus dievaluasi.
Sorotan juga diberikan pada program bantuan rumah tidak layak huni (RTLH) yang dinilai belum berdampak maksimal.
“Kami minta data rinci berapa unit rumah yang sudah direhabilitasi melalui APBD maupun CSR. Realisasi bantuan ini belum dirasakan maksimal,” jelasnya.
Afif menambahkan, anggaran riset perlu diarahkan lebih jelas dan melibatkan universitas serta lembaga riset lokal agar hasilnya bisa diterapkan untuk pembangunan.
Gerindra juga mencatat masih tingginya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) 2024 yang mencapai Rp2,597 triliun sebagai indikator belum optimalnya pelaksanaan program.
“SiLPA yang tinggi menunjukkan program tidak berjalan optimal. Belanja pemerintah tertahan dan tidak menggerakkan ekonomi daerah,” tegasnya.
Fraksi Gerindra juga mendesak penindaklanjutan temuan BPK sesuai rencana aksi serta peningkatan sinergi dengan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN), khususnya dalam membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal melalui pelatihan dan program keterampilan bersertifikasi.
“Tenaga kerja lokal harus diutamakan dalam pembangunan IKN,” pungkas Afif. (ADV).