SUARAKUTIM.COM, SANGATTA – Di tengah upaya mewujudkan swasembada pangan, peningkatan produksi komoditas pangan pada sektor pertanian menjadi salah satu kunci keberhasilan. Namun ternyata kondisi realita di lapangan berbanding terbalik dengan sejumlah program kemajuan pertanian. Para petani kini dihadapkan dengan kenyataan betapa sulitnya mendapatkan pupuk subsidi.
Kondisi ini juga diungkapkan anggota DPRD Kutai Timur, Yusri Yusuf. Pada Daerah Pemilihan (Dapil) II Kabupaten Kutai Timur, kelangkaan pupuk subsidi bukanlah hal yang baru. Bahkan dirinya memastikan jika kelangkaan pupuk subsidi ini sangat berdampak langsung pada produktivitas dan kesejahteraan petani di wilayah tersebut.
Dikatakan masalah kelangkaan pupuk bersubsidi di Dapil II bukan hanya soal pasokan, tetapi juga regulasi yang belum sepenuhnya berpihak pada petani kecil. “Para petani ini kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Ini sangat merugikan mereka, terutama di tengah tingginya biaya produksi dan harga komoditas yang fluktuatif,” ungkapnya, Senin (19/8/2024).
Yusri menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama dari masalah ini adalah adanya dominasi pekebun sawit yang memanfaatkan kelompok tani untuk mendapatkan akses ke pupuk bersubsidi. Padahal, aturan dari Kementerian Pertanian yang dikeluarkan pada 26 Agustus 2023, secara tegas melarang penggunaan pupuk bersubsidi oleh petani sawit. Sesuai regulasi tersebut, hanya sembilan komoditas yang diizinkan menggunakan pupuk bersubsidi, sementara petani sawit diwajibkan menggunakan pupuk non-subsidi yang harganya jauh lebih mahal.
“Pekebun sawit yang membentuk kelompok tani dan mengaku sebagai petani kemudian mengambil porsi pupuk bersubsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi petani kecil. Akibatnya, petani yang sebenarnya membutuhkan pupuk tersebut tidak lagi bisa mendapatkannya,” jelas Yusri dengan nada prihatin.
Pupuk bersubsidi yang disediakan oleh pemerintah, seperti urea, NPK, dan NPK FK, memiliki harga eceran tertinggi yang jauh lebih terjangkau dibandingkan pupuk non-subsidi. Harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi diatur sebagai berikut: Urea Rp 2.250 per kg, NPK Rp 2.300 per kg, NPK FK Rp 3.300 per kg, dan Organik Rp 800 per kg. Namun, untuk mendapatkan pupuk bersubsidi ini, petani harus terdaftar dalam kelompok tani (Poktan), e-RDKK, dan SIMLUHTAN. Ketatnya persyaratan ini semakin memperumit akses bagi petani kecil, terutama mereka yang belum terorganisir dengan baik dalam kelompok tani.
Yusri Yusuf menekankan perlunya evaluasi dan penyesuaian regulasi agar distribusi pupuk bersubsidi lebih adil dan tepat sasaran. “Saya berharap regulasi yang mengatur tentang ini diperbaiki, sehingga petani dan pekebun sawit mendapatkan porsi yang sama untuk mengakses pupuk bersubsidi ini,” ujarnya.
Menurut Yusri, keadilan dalam distribusi pupuk sangat penting untuk memastikan semua petani, baik yang menanam komoditas utama maupun sawit, dapat terus berproduksi tanpa terkendala oleh masalah ketersediaan pupuk.
Yusri Yusuf menambahkan bahwa pemerintah daerah perlu lebih proaktif dalam mengawasi distribusi pupuk bersubsidi, serta memberikan pendampingan kepada petani agar mereka dapat memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal. Ia juga berharap agar petani di Dapil II lebih terorganisir dan aktif dalam kelompok tani, sehingga hak mereka untuk mendapatkan pupuk bersubsidi bisa lebih terjamin.
Harapan besar kini tertumpu pada langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah daerah dan pusat untuk mengatasi masalah ini. Dengan distribusi pupuk yang lebih adil dan regulasi yang lebih berpihak pada petani kecil, diharapkan sektor pertanian di Dapil II Kutai Timur bisa kembali bangkit dan memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian daerah.
“Pemerintah harus bertindak cepat untuk mengatasi masalah ini. Petani adalah tulang punggung perekonomian kita, dan mereka harus mendapatkan dukungan penuh,” tutup Yusri Yusuf.(Red-SK/ADV)