SuaraKutim.com, Sangatta – Salah seorang warga Kutim bernama Riko, bukan nama sebenarnya, nekat melaporkan adanya dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Arkara Prathama Energy (APE) ke Polres Kutim. Kenekatan tersebut merupakan bentuk protes terhadap pemerintah daerah dan juga instansi terkait yang menurutnya ‘habis baterai’. Dengan kata lain kurang merespons terkait penanganan terhadap lingkungan.
Pria berkulit sawo matang tersebut menyebut bahwa dugaan pencemaran hulu Sungai Sangatta yang terjadi pada Maret 2023 lalu tersebut sebelumnya telah diinformasikan ke berbagai instansi terkait. Bahkan dirinya berinisiatif untuk menginformasikan ke Kepala Balai Gakkum perihal permasalahan yang timbul dengan mengirimkan video kejadian via WhatsApp.
Tak cukup sampai disitu, penyebaran informasi terkait dugaan masalah lingkungan hidup itu juga telah dilakukannya melalui kanal pengaduan SP4N-LAPOR. Termasuk ke surel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun respons yang diterima menurutnya mengecewakan.
“Sudah dua bulan lebih kejadian respons juga tidak ada, itu hulu Sungai Sangatta padahal yang diduga tercemar aktivitas tambang. Sungai itu dimanfaatkan oleh warga di tiga kecamatan. Tapi dinas, instansi, bahkan pemerintah daerah seolah ‘habis baterai’ untuk turun tangan menindaklanjuti informasi yang ada,” ucapnya saat ditemui seusai melakukan pengaduan ke Polres Kutim pada Senin (24/4) yang lalu.
Dirinya juga mengaku bahwa hal itu dilakukannya karena memikirkan dampak yang mungkin timbul terhadap Sungai Sangatta. Pasalnya, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir banjir yang merendam wilayah Sangatta cukup melahirkan trauma. Meskipun upaya pengerukan sungai dan juga penghijauan telah dilakukan oleh pemerintah daerah secara bertahap.
“Trauma sudah, banjir besar tahun lalu saja sampai sekarang katanya ada program rehab dari pemerintah, (ternyata) sampai sekarang masih nihil. Sekarang ditambah kejadian seperti ini yang tidak segera direspons. Ini hal sederhana tapi dampaknya pasti dirasakan oleh banyak warga,” imbuhnya.
Dia berharap melalui aduan yang dilakukannya, ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum terhadap perusahaan atau bahkan hingga dinas dan pemerintah daerah yang menurutnya “diduga” tidak memperhatikan masyarakat dan lingkungan. Ia meminta ada penyelidikan intensif atas kejadian yang diduganya sengaja diendapkan dengan tujuan tertentu. Mengingat pasifnya tindakan yang timbul atas kejadian tersebut.
“Seperti kita ketahui bersama pemerintah daerah telah menerbitkan izin atas penggunaan dan pemanfaatan bagian-bagian jalan untuk perusahaan tersebut pada bulan Februari 2023 lalu. Saya kurang paham apa korelasinya dengan masalah ini. Namun wajar dong jika kami menduga ada hal lain dari kejadian ini,” tandasnya.
Menanggapi hal itu, Humas PT APE, Eko Sugiarto mengatakan pihaknya tentu kooperatif terhadap dugaan yang telah dialamatkan ke perusahaannya. Mengingat aktivitas korporasi tersebut belum genap 10 bulan beroperasi di Kutai Timur.
Terkait masalah yang diadukan pelapor ke Polres Kutai Timur, ia mempercayakan proses hukum berjalan di kepolisian. Sebab menurutnya mengenai sangkaan tercemarnya hulu Sungai Sangatta akibat tidak dikelolanya run off air hujan. Ditambah diduga PT APE belum memiliki saluran irigasi hingga izin settling pond tidak dibenarkan pihaknya.
“Saya hanya memberikan gambaran secara general saja bahwa apa yang disangkakan itu tidak benar,” kata Eko via telepon WhatsApp pada Rabu (26/4), sore.
Sebagai humas perusahaan, Eko menilai laporan yang sudah dilayangkan itu belum berimbang lantaran hanya berdasarkan satu sumber informasi. Sebab di sekitar hulu Sungai Sangatta bukan hanya aktivitas PT APE tetapi terdapat korporasi lainnya.
Terpisah, dihubungi via telepon seluler pada Senin (15/5), aktivis Fraksi Rakyat Kutai Timur (FRK), Febri, menyebutkan bahwa setiap usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki dokumen analisa mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal).
“Tentu harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, jika ada indikasi pencemaran lingkungan maka perlu melihat dokumen amdal tersebut apakah perusahaan telah patuh apa tidak,” ujarnya.
Disampaikannya pemerintah juga turut andil untuk mengawasi aktivitas perusahaan. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.
“Pertama harus ada upaya preventif melalui kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang harus dibuat oleh pemkab, kedua adalah pemberian sangsi yang tegas jika perusahaan terbukti melakukan pencemaraan, jika hal tersebut diabaikan, maka pemerintah akan menjelma menjadi penjahat lingkungan, yang akan mengancam kelangsungan hidup warga,” tutupnya