SUARAKUTIM.COM, JAKARTA – Pakar Ketahanan Nasional yang juga dosen Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Indonesia (UI) Margaretha Hanita mengatakan peluang pelibatan TNI untuk melawan ekstremisme, radikalisme, maupun terorisme dapat dilakukan dengan kontra perang hibrida.
“Peluang pelibatan yang lebih rasional adalah menggunakan fungsi pertahanan TNI dengan kontra perang hibrida,” kata Margaretha dalam diskusi virtual peluncuran kertas kerja Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) yang diselenggarakan oleh Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI, Sabtu.
Dia menjelaskan, perang hibrida merupakan strategi yang digunakan dengan memadukan perang konvensional, perang non-linear, dan perang siber. Selain itu, menurut dia, saat ini ancaman hibrida dalam konteks ekstremisme, radikalisme, maupun terorisme sangat faktual, bukan lagi ancaman potensial.
“Ancaman hibrida di sektor ekstremisme, radikalisme maupun terorisme nyata,” kata Margaretha.
Penjelasan itu disampaikan Margaretha untuk menanggapi kertas kerja Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE), khususnya terkait pelibatan TNI yang mana sesungguhnya cukup menantang.
Selain karena pelibatan TNI dalam sektor keamanan nasional adalah sebuah pro dan kontra, dia mengatakan bahwa RAN PE bukan merupakan regulasi yang mengatur pelibatan TNI dalam kontra ekstremisme, radikalisme, maupun terorisme, melainkan penanggulangan oleh lembaga-lembaga sipil.
RAN PE sendiri telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme dan telah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Januari 2021 lalu.
Mengenai pihak-pihak yang dapat menjalankan kontra perang hibrida itu, Margaretha menyebutkan beberapa di antaranya yakni Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, dinas-dinas intelijen di lingkungan Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU), pengamanan perbatasan, hingga tim-tim taktis khusus anti teror di lingkungan TNI.
Menurut dia, tiga matra di TNI saat ini juga sudah beradaptasi dalam rangka melaksanakan fungsi kontra perang hibrida.
“Sudah beradaptasi sebenarnya di Angkatan Darat (AD) sudah ada Pusat Sandi dan Siber TNI AD (Pussansiad), dan juga mungkin di AU dan AL saya rasa semuanya itu sudah beradaptasi kesana,” ujar Margaretha.
Dalam diskusi tersebut turut hadir sebagai pembicara kunci, yakni Deputi Bidang Kerjasama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andhika Chrisnayudhanto dan Wakil Direktur Hukum TNI Angkatan Darat Kolonel ChkI Made Kantika. (Ant)