SANGATTA,Suara Kutim.com (30/6)
Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) menyebabkan Indonesia mundur lagi dalam 17 tahun terakhir, pasalnya sejumlah kandungan dalam UU Pemda tidak seirama dengan semangat otonomi daerah yang diamanatkan refomasi digelar semua elemen masyarakat pada tahun 1998.
Seusai membuka Sosialisasi UU No 23 Tahun 2014, Selasa (30/6) pagi, Bupati Ardiansyah Sulaiman menilai banyak terjadi perubahan kebijakan yang semula dipegang oleh daerah harus berpindah ke Pemprov dan pusat sehingga menyulitkan bagi masyarakat yang ada di daerah terutama jauh di pedalaman atau pesisir pantai.
Ia mencontohkan di sektor pedidikan, pemerintah daerah seperti Kutim akan mengelola SD hingga SMP. Sementara SLTA diambil alih Pemerintah Provinsi. Kondisi ini tentu tidak memperhitungkan kondisi sekolah yang jauh dan sulit. “Bagaimana kondisi di daerah terutama di kecamatan terpencil jika harus berurusan ke provinsi yang jarak dan geografisnya cukup jauh. Belum lagi Pemerintah Provinsi harus merubah status ribuan guru dan PNS yang semula merupakan pegawai daerah kini harus menjadi pegawai provinsi serta masalah membiayai penggajihan,” beber Ardiansyah.
Diungkapkan, banyaknya kewenangan yang selama ini diserahkan ke kabupaten atau kota kemudian ditarik kembali seirama pemberlakukan UU Pemda akan menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah pusat dan provinsi akibatnya banyak masalah yang ada akan belum bisa dituntaskan. “Jangankan yang jauh, di Sangatta ini nantinya akan kerap bolak-balik ke Samarinda sehingga memerlukan biaya serta waktu tidak sedikit belum lagi urusannya selesai atau tidak karena berbagai faktor,” beber Ardiansyah.
Untuk menyelaraskan bagaimana implementasi UU Pemda, Bagian Otda Setkab Kutim menggelar Sosialisasi UU No 23 Tahun 2014 kepada Kepala SKPD serta Camat se Kutai Timur. “Sosialisasi dengan menghadirkan Kementrian Depdagri bertujuan menyamakan persepsi semua SKPD untuk menindaklanjuti pelaksanaan UU Pemda itu,” kata Kabag Otda Ismed Ade Baramuli.(SK-03/SK-011)