Suarakutim.com, Sangatta – Di jantung Kelurahan Teluk Lingga, Sebuah lorong kisah yang tak pernah terduga, menghampiri warga Jalan Rawa Sari, Kecamatan Sangatta Utara.
Warga mengadukan derita mereka, terperangkap dalam lingkaran keluhan yang mencekik. Hal itu karena lingkungan damai yang selama ini mereka tempati kini semakin tergoyahkan oleh bayang-bayang Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Prima Sangatta Eco Waste.
Polusi udara menjadi nyanyian sunyi yang melantun di sela-sela aktivitas warga. Proses pembakaran 24 jam, menyebarkan bau yang tak terlupakan. Bagi mereka, warga sekitar pabrik, itu adalah tanda bahwa masalah masih berlanjut.
Kehadiran pabrik, sekilas memberikan harapan, namun nyatanya, aktivitas pembakaran sampah di dalam TPST kelabu itu memuntahkan polutan yang merayap dalam pelukan angin. Kualitas udara tercabik-cabik, dan warga pun menjadi resah menanti sentuhan kebijakan pemerintah daerah.
Dampak kesehatan menjadi musuh baru yang datang tanpa undangan. Warga merasakan gejala yang tak seharusnya. Batuk, mual, dan muntah menjadi teman yang menemaninya dalam perjuangan mengejar napas segar. Di tengah kesehatan yang mengkhawatirkan, warga tetap berupaya mencari celah untuk tetap aman.
Warga Protes Langsung, Belum ada Tanggapan
Dewi (34), salah seorang warga yang merasakan dampak kehadiran pabrik tersbut, sebagai ibu rumah tangga, ia merasakan gelombang masalah yang menerpa keluarganya. “Saat pabrik mulai beroperasi, kami semua, suami, anak-anak, bahkan saya sendiri, mual. Suami saya mengadukan hal ini ke pabrik, tapi mereka hanya berkata bahwa mereka hanya pekerja, mereka bilang, nanti kami sampaikan ke atasan,” katanya, bercerita sambil menunjuk kearah pabrik. Selasa (14/08/23)
Sebuah titik balik tercipta sebelum bulan puasa, ketika berita tentang pegawai Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kutai Timur (Kutim) yang berkunjung ke pabrik mencapai telinga Ibu Dewi. Ia, bersama para warga yang lain, mengambil langkah lebih berani, datang menghampiri pegawai itu, membawa hembusan keluhan mereka.
“Kami mengutarakan keluhan kami, khususnya mengenai bau dan lalat yang masuk ke rumah kami. Pegawai dari Dinas LH nya dia bilang, tunggu berita selanjutnya kami sampaikan ke atas,” cerita Ibu Dewi dengan tekad dalam matanya.
Berbeda dengan Dewi, Karyawan swasta Aguswinarno (40), yang jarak rumahnya hanya berkisar 30 meter dari pabrik dengan dua cerobong asap menjulang tinggi tersebut. Menjadi satu-satunya warga yang pernah disurvei oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur secara langsung.
Sepertinya, ia adalah suara dari segala keluhan yang menghampiri jalan rawa sari. “Saya selalu menutup pintu rumah dengan rapat karena khawatir udara tercemar. Kalau angin berhembus ke arah sini, karena angin itu pasti kesini, kalau pas angin ke arah rumah ini, ada hitam-hitam itu kan bahaya sekali itu kalau kita pas ngirup udara,” ucapnya.
Agus juga menyampaikan bahwa sejak awal rencana pembangunan pabrik tersebut, tidak ada upaya sosialisasi ataupun permintaan persetujuan ke warga. Meski tidak ingat betul sumber iformasinya dirinya pernah mendengar bahwa dulu rumornya bangunan itu akan dibangun terminal bukan pabrik pengolah sampah.
“Semoga secepatnya dipindah pabrik ini kalau bisa ke daerah jauh, yang layak tempat karena ini bukan tempatnya layak,” ungkapnya.
Kekhawatiran lebih mendalam muncul dari salah satu warga lainya, Arisandi (40) dengan nada pelan menceritakan bahwa kehadiran pabrik pengelolaan sampah tersebut, membuat ia bersama istrinya terkadang harus menggunakan masker, istrinya yang sedang hamil, menambah alasan terkuatnya untuk menolak kehadiran TPST dilingkungan masyarakat Rawa Sari.
“Selain bau suara bising kalau malam itu tepatnya kita istirahatkan, bising juga terus asap yang masuk ke rumah itu mengganggu juga, apalagi istri saya sedang hamil, kadang pake masker juga kalau asapnya tebal mas,” tutupnya lirih. (Red/SK/05)
Baca artikel selanjutnya bagian kedua dari tulisan “Polutan Jadi Sangkutan, TPST Sangatta Undang Bahaya ke Warga” https://www.suarakutim.com/polutan-jadi-sangkutan-tpst-sangatta-undang-bahaya-ke-warga-bagian-2/