SuaraKutim, Sangatta – Menjelang pergantian tahun 2022, Fraksi Rakyat Kutai Timur (FRK) melayangkan kritik terhadap sejumlah kebijakan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, melalui catatan akhir tahun (CATAHU).
Beberapa keputusan publik yang disoroti oleh FRK diantaranya yakni persoalan perencanaan anggaran daerah yang bermasalah, masyarakat hukum adat, dan tiadanya penanggulangan pascabanjir Sangatta.
Sekretaris FRK, Junaidi Arifin menyampaikan bahwa bahwa postur belanja daerah Kabupaten Kutai Timur, selama tiga tahun terakhir masih cenderung didominasi Belanja Pegawai serta Barang dan Jasa. Dalam hal ini belanja operasional yang meliputi pembelian barang, atau jasa habis pakai yang dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang bersifat internal.
“Terlepas dari anggaran realisasi, berdasarkan data yang kami himpun dapat disimpulkan bahwa Belanja Modal hanya dialokasikan sebesar 29.33% di tahun 2020, 31,39% tahun 2021, dan pada tahun 2022 hanya 15,98% di tahun 2022.” tuturnya
Sedangkan Belanja Modal yang notabene berdampak secara langsung ke masyarakat bersama nilai manfaatnya justru mengalami penurunan setiap tahun. Padahal melalui Belanja Modal tersebut, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dapat membangun sarana dan fasilitas umum maupun sosial.
“Berdasarkan KUA-PPAS 2022 kami menemukan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), yang mengalami pembengkakan anggaran seperti Dispora dan Dinas Pariwisata,” ungkapnya.
Menurut catatan FRK, sambungnya, Dinas Pariwisata nampak melakukan pemborosan anggaran pada beberapa kegiatan, yang sepatutnya tidak perlu, karena tak mempunyai manfaat bagi masyarakat secara langsung. Seperti Program Pemasaran Pariwisata, yang mempunyai nilai anggaran miliaran rupiah malah diperuntukkan buat lawatan ke luar Kutai Timur, misalnya.
Begitu pula Dinas Pemuda dan Olahraga, di tengah banyaknya anggaran SKPD tersebut peruntukan anggarannya tak membidik masalah mendasar pemuda saat ini. Seperti menjamin pemenuhan hak angkatan muda untuk mendapatkan akses pengembangan diri, atau pelibatan pemuda dalam proses pengambilan keputusan program strategis ihwal kepemudaan di Kabupaten Kutai Timur.
“Kedua dinas itu mengalami kenaikan anggaran sebesar 229 persen dan 124 persen dari anggaran mereka sebelumnya,” jelasnya.
Lebih jauh FRK juga menyoroti data hasil survei yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2022, terungkap bahwa Kabupaten Kutai Timur menduduki posisi paling buruk, dan sangat rentan terjadi praktik korupsi.
“Meski tidak jauh berbeda dengan indeks integritas Kutim tahun lalu, tahun 2022 ini juga cukup mengkhawatirkan karena KPK mencatat Kutim dengan posisi yang lagi-lagi sangat rentan dengan persentase 64,99 persen,” terangnya.
Di akhir laporan tahunan itu, FRK juga menilai persoalan Masyarakat Hukum Adat (MHA), yang menganggap Pemerintah Kabupaten Kutai Timur setengah hati melegitimasi komunitas MHA.
Sebab sampai dengan saat ini belum ada satupun komunitas MHA yang memperoleh pengakuan dari pemerintah.Kemudian persoalan penanganan pascabanjir Sangatta yang sudah dilaporkan FRK bersama 100 orang korban bencana alam tersebut ke Ombusman RI Perwakilan Kalimantan Timur.
Nyaris 100 hari kerja sejak dilaporkan hingga diperiksa Ombudsman, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur belum kunjung memenuhi tanggung jawabnya yakni melakukan rehabilitasi maupun rekonstruksi rumah warga yang rusak.
Di penghujung laporannya, FRK juga bermohon dokumen pertambangan batu bara berupa IUPK, ANDAL, RKL-RPL, RIPPM dan RKAB PT Kaltim Prima Coal ke Kementerian ESDM RI, yang kini sudah berproses di Komisi Informasi Pusat. Hal itu ditempuh FRK lantaran tata Kelola sumber daya ekstraktif seperti perusahaan pertambangan batu bara tidak transparan, partisipatif, dan akuntabel.
“Bersama masyarakat adat, dan ratusan korban banjir, kami akan berjuang menuntut keadilan atas ruang hidup yang layak demi masa depan lingkungan di Kabupaten Kutai Timur,” tutupnya.