SUARAKUTIM.COM, SANGATTA – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur (Kutim) terus berkomitmen dalam upaya menjaga dan pelestarian lingkungan. Terlebih saat ini keberlanjutan dan pelestarian lingkungan menjadi perhatian yang utama.
Salah satu upaya dalam menjaga pelestarian lingkungan adalah dengan menerapkan ecoenzyme. Hal ini yang coba mulai dipraktikkan di Pasar Induk Sangatta (PIS), guna mengurangi salah organik dan memanfaatkan hasil olahan ecoenzyme tersebut.
Wakil Bupati Kutai Timur, Kasmidi Bulang yang hadir dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang digagas Gerakan Ekonomi Kreatif (GEKRAF) Kutim, bertempat di Pasar Induk Sangatta (PIS), Kamis (11/7/2024) pagi, menyampaikan komitmen Pemerintah Kutai Timur dalam mendukung upaya menjaga keberlanjutan dan pelestarian lingkungan, salah satunya melalui program ecoenzyme di Kutim.
“Program ini bagus, kami akan suport. Kami yakin, ecoenzyme ini dapat mengurangi sampah organik di Kutai Timur,” ungkapnya, Kamis (11/7/2024).
Menurutnya, ecoenzyme muncul sebagai salah satu solusi inovatif untuk mengurangi dampak negatif sampah terhadap bumi.
“Ecoenzyme ini cairan fermentasi yang terbuat dari bahan-bahan organik dan dapat digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari pertanian hingga kebersihan rumah tangga. Bahan mudah, proses gampang,” tuturnya.
Lanjutnya, Pemerintah Kutim tentu akan mensupport baik moril maupun anggaran untuk setiap kegiatan positif, termasuk penerapan ecoenzyme.
“Insya Allah, perubahan anggaran 2024 ini akan kami anggarkan untuk tong plastik tempat ecoenzyme, nanti saya titipkan di UPTD Pasar Induk Sangatta,” ungkap Kasmidi.
Sementara itu, Ketua Gerakan Ekonomi Kreatif (GEKRAF) Kutim, Efendi Rustam Lubis menjelaskan bahwa ecoenzyme dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Kandungan enzimnya membantu dalam proses dekomposisi bahan organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman, dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme tanah yang bermanfaat.
“Selain itu, ecoenzyme juga efektif sebagai pembersih rumah yang ramah lingkungan, pestisida alami, dan cara untuk mengurangi limbah organik,” terangnya.
Untuk membuat ecoenzyme, diperlukan bahan-bahan seperti sisa-sisa buah dan sayuran, gula (biasanya gula merah atau gula kelapa), dan air. Campur sisa-sisa buah dan sayuran dengan gula dalam perbandingan tertentu, kemudian tempatkan campuran tersebut dalam wadah kedap udara dan biarkan fermentasi berlangsung selama beberapa minggu hingga cairan tersebut matang. Setelah fermentasi selesai, saring campuran tersebut untuk mendapatkan cairan bersih, dan simpan di tempat yang gelap dan dingin selama beberapa minggu agar mencapai tingkat kematangan yang optimal.
“Ecoenzyme merupakan cairan hasil fermentasi dari campuran buah-buahan, sayuran, dan gula yang diolah secara alami. Proses fermentasi ini melibatkan mikroorganisme seperti bakteri asam laktat dan ragi. Hasilnya adalah cairan yang kaya akan enzim dan nutrisi,” imbuhnya.
Reni Puspita Mandasari, warga Kecamatan Sangatta Utara, adalah pelopor gerakan ecoenzyme di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. Reni, yang juga menjabat sebagai Ketua Relawan Gerakan Ecoenzyme di Sangatta, baru-baru ini mendeklarasikan komitmennya bersama relawan lainnya untuk mengolah sampah organik dari kulit buah dan sayuran menjadi ecoenzyme yang kaya akan manfaat.
Awalnya, Reni terinspirasi dari sosial media yang menunjukkan pemanfaatan sampah organik kulit buah dan sayuran sebagai bahan dasar ecoenzyme. Ia banyak menemukan hal itu dipraktikkan di Pulau Jawa.
“Saya menilai pemanfaatan sampah kulit buah dan sayuran menjadi ecoenzyme bisa diterapkan, akhirnya saya praktik sendiri,” ungkap Reni.
Setelah mencoba secara individu dalam skala rumah tangga, ia menemukan formula khusus untuk pembuatan ecoenzyme tersebut. Proses pembuatan ecoenzyme memerlukan bahan-bahan seperti sampah kulit buah dan sayuran, air, dan gula merah atau sejenisnya dengan perbandingan komposisi 1:3:10.
“Jadi kalau gulanya 1 kilogram, sampah kulit buahnya 3 kilogram, maka airnya 10 liter, nanti jadinya 10 liter ecoenzyme,” jelas Reni.
Setelah bahan-bahan tersebut dicampur, proses fermentasi berlangsung selama tiga bulan, dengan syarat mutlak wadah harus kedap udara agar hasilnya tidak ditumbuhi belatung.
Pada bulan pertama, fermentasi akan menghasilkan alkohol, di bulan kedua asam atau cuka, dan di bulan ketiga menjadi ecoenzyme. Kedua produk ini, baik cairan ecoenzyme maupun residu padatannya, memiliki manfaat yang sangat luas, mulai dari desinfektan, pupuk cair untuk tanaman dan peternakan ikan, hingga kecantikan.(Red-SK/ADV)