SANGATTA,Suara Kutim.com (6/4).
Potensi air permukaan di Kutai Timur (Kutim) seperti sungai, danau dan waduk, tidak bisa memberikan kontribusi pendapatan daerah. Pasalnya dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, pengelolaan dan pemanfaatan air permukaan diambil alih dan dipungut pajak dan retribusinya oleh Pemerintah Provinsi. Sementara Pemkab dan Kota termasuk Kutim hanya memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan pungutan retribusi dan pajak air tanah seperti sumur bor.
Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kutai Timur Yulianti didampingi Kabid Retribusi dan PAD Musyaffa menyebutkan selama ini semua perusahaan memanfatkan air permukaan seperti sungai dan danau untuk kegiatan operasional perusahaan dan karyawan. “Karena Undang-undang yang menetapkan bahwa pemanfaatan air permukaan dipungut langsung oleh pihak provinsi, maka daerah hanya bisa gigit jari. Bahkan Pemerintah Kutim tidak bisa membuat Peraturan Daerah (Perda) terkait pengelolaan retribusi air permukaan tersebut karena tentu akan bertentangan dengan undang-undang,” terang Yulianti.
Walaupun protes karena sungai dan danau berada di wilayah Kutim, diakui saat ini Pemkab Kutim tidak bisa berbuat banyak. Namun beberapa perusahaan yang memanfaatkan air permukaan, kini sudah ditarik pajak air tanahnya, meski masih kecil. Musyaffa, menambahkan upaya melakukan revisi undang-undang terus dilakukan melalui lembaga Asosiasi Pemerintah Kota dan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) termasuk usulan perubahan nomenklatur terkait Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Jika direvisi dipastikan penghasilan Kutim akan semakin besar, usulan ini rencananya dipelopori oleh Kabupaten Kutai Kartanegara karena potensi PADnya lebih tinggi,” ungkapnya.(SK-03/SK-13)