Beranda ekonomi Masalah Kewilayahan Kutim-Bontang, Mahyudin Minta Jangan Terlalu Berpolemik – Ajak Semua Pihak...

Masalah Kewilayahan Kutim-Bontang, Mahyudin Minta Jangan Terlalu Berpolemik – Ajak Semua Pihak Kelola Daerah Dengan Baik Demi Masyarakat

0

Loading

SUARAKUTIM.COM, SANGATTA – DPRD Kutai Timur menggelar Rapat Paripurna dengan agenda mendengarkan pidato Bupati Kutai Timur dalam rangka peringatan HUT Kabupaten Kutai Timur Ke-26, Kamis (9/10/2025), bertempat di ruang rapat utama DPRD Kutim. Dipimpin langsung Ketua DPRD Kutim, Jimmi dan didampingi Wakil Ketua II DPRD Prayunita Utami, rapat paripurna dihadiri Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman dan Wakil Bupati Mahyunadi. Tampak pula hadir puluhan anggota DPRD Kutim, Forkopimda, pejabat eselon 2 dan 3 di lingkungan Pemerintah Kutai Timur, tokoh adat, anggota DPRD Provinsi Kaltim, serta sejumlah tamu undangan penting lainnya.

Hadir pula di tengah-tengah para tamu undangan, mantan Bupati Kutai Timur ke-2, Mahyudin dengan mengenakan setelan jas abu dengan kemeja putih. Mantan Wakil Ketua DPR RI Periode 2019-2024 ini tampak duduk berdampingan bersama Ketua TP PKK Kutai Timur Siti Robiah Ardiansyah, yang juga istri Bupati Kutai Timur.

Usai kegiatan, Mahyudin yang ditemui wartawan memberikan sedikit gambaran napak tilas sejarah berdirinya Kabupaten Kutai Timur, termasuk penentuan tapal batas wilayah antara Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang yang kini sedang dipersengketakan.

Mahyudin menjelaskan bahwa batas wilayah Kutim tidak terlepas dari sejarah berdirinya Kabupaten Kutim maupun Kecamatan Sangatta. Dahulu sebelumnya, Sangatta merupakan bagian dari Kecamatan Bontang. Kemudian, terjadi pemekaran kecamatan yang melahirkan Kecamatan Sangatta.

“Ketika didirikan Kecamatan Sangatta itulah ditentukanlah batas Kecamatan Sangatta dan Kecamatan Bontang,” ujar Mahyudin kepada wartawan, Kamis (9/10/2025).

Ditambahkan, jika batas awal tersebut adalah jalan pipa, yang dipilih karena pada saat itu belum ada jalanan dan wilayah tersebut masih berupa hutan.

Setelah pemekaran Kabupaten Kutai menjadi empat wilayah pada tahun 1999, termasuk Kutim dan Bontang, wilayah Sangatta menjadi bagian dari Kutim yang terdiri dari lima kecamatan, yaitu Kecamatan Sangatta, Sangkulirang, Muara Ancalong, Muara Wahau, dan Muara Bengkal.

“Sehingga Kota Bontang dan Kutim juga mengikuti batas kecamatan. Jadi batas Bontang dan Kutim itu mengikuti batas Kecamatan Bontang dan Kecamatan Sangatta,” jelas Mahyudin.

Mahyudin memahami bahwa sebagian masyarakat di wilayah perbatasan mungkin menginginkan pelayanan yang lebih dekat dengan Bontang. Namun, ia menekankan bahwa hal tersebut merupakan masalah administrasi pemerintahan saja.

“Orang Bontang boleh tinggal di Sangatta, orang Sangatta juga boleh tinggal di Bontang. Jangan dipermasalahkan itu,” tegasnya.

Ia mencontohkan kasus Bekasi dan Depok yang masuk wilayah Jawa Barat, namun masyarakatnya tetap dapat beraktivitas di Jakarta tanpa masalah.

Mahyudin mengimbau pemerintah daerah untuk tidak terlalu banyak berpolemik dan mengikuti aturan yang berlaku. Jika ada pihak yang ingin wilayahnya masuk ke Bontang, dapat mengajukan permintaan penambahan wilayah kepada pihak terkait.

“Kalau sekarang posisinya dengan putusan MK, dengan undang-undang pemekaran yang lalu, itu masuk wilayah Kutim,” ujarnya.

Namun, ia menyebutkan bahwa Bontang juga dapat mengajukan permohonan kepada gubernur untuk meminta Kutim melepaskan sebagian wilayahnya.

Mahyudin juga mengingatkan para pejabat untuk tidak terlalu mempersoalkan masalah wilayah, karena jabatan mereka tidaklah abadi. Ia mengajak semua pihak untuk mengelola daerah dengan baik, bijaksana, dan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat.

“Pemerintah itu kan public service. Jadi bagaimana masyarakat di sini dilayani dengan baik,” pungkasnya.

Ia juga berharap masyarakat tetap dapat memperoleh fasilitas dari kedua wilayah, tanpa ada pembatasan akibat masalah administrasi.(Red-SK/*)